Proposal
Pengajuan Judul Tugas
Akhir
Analisis Efektivitas Biaya Terapi Pengobatan AntiDiabetik Kombinasi Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe II non
Insulin di Rumah Sakit Umum dr. Slamet Kabupaten Garut
Pendahuluan
Latar
Belakang
Faktor
ekonomi sangat berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan. Kemajuan industri
pelayanan kesehatan pada beberapa dekade terakhir telah mengurangi angka
kesakitan dan angka kematian, tapi pada saat yang sama biaya kesehatan
meningkat lebih cepat hingga mempengaruhi pendapatan nasional. Biaya kesehatan
terhitung sebagai bagian terbesar dalam pengeluaran biaya pelayanan kesehatan
(1).
Atas
dasar tersebut untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan ekonomis,
para memangku kebijakan dalam pelayanan kesehatatan dihadapkan kepada keharusan
melakukan analisa ekonomi, termasuk dalam penggunaan obat-obatan (2). Dalam
konteks ini penggunaan prinsipprinsip farmakoekonomi merupakan keharusan bagi
seorang apoteker dalam memberikan asuhan kefarmasian. Analisis farmakoekonomi
akan memberikan keuntungan yang maksimal dalam penggunaan obat-obatan pada
pasien (3,4). Analisis farmakoekonomi ini telah digunakan sebagai instrumen
pengambilan keputusan dalam penggunaan obat-obatan di Indonesia.
Diabetes
Melitus merupakan suatu gangguan metabolism karbohidrat yang ditandai dengan
hiperglikemia kronik dan kurang efektifnya pemakaian glukosa (2). Gejala yang
biasa Muncul adalah polidipsia , poliuria , dan penurunan berat badan (3). DM
yang tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan komplikasi yangka panjang yang
meliputi komplikasi mikrovaskuler (retinopati dan nefropati) dan komplikasi
makrovaskuler (PJK dan serebrovaskuler/stroke) (2).
Outcome
jangka
panjang dari penyakit diabetes sering terkait dengan meningkatnya morbiditas
dan mortalitas, karena diabetes merupakan penyakit yang selalu berkembang.
Meskipun demikian, komplikasi mikrovaskuler (retinopati, nefropati dan
neuropati) dan makrovaskuler (gangguan pembuluh darah jantung, gangguan
pembuluh darah tepi dan gangguan pembuluh darah otak) dapat dikurangi atau
dicegah dengan pengendalian glukosa darah yang baik (Wolfangel, 2004).
Pada
pengobatan Diabetes Melitus diketahui ada beberapa pola penggunaan Obat DM
sehingga tentunya akan mempunyai dampak secara ekonomi. Berdasarkan masalah
tersebut perlu dilakukan analisis ekonomi terhadap berbagai pola penggunaan
Obat DM spada pengobatan Diabetes Melitus Tipe II non Insulin sehingga
didapatkan penggunaan Obat DM yang costeffective.
Terapi
dengan antidiabetik oral kombinasi diberikan pada pasien yang kadar glukosa
belum mencapai target dengan monoterapi dan harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda (Wolfangel, 2004). Pada
penelitian Caro (2003) kombinasi terapi dengan penambahan nateglinid pada
metformin memperbaiki kontrol glukosa antara nilai HbA1c dan glukosa darah
postprandial serta dapat menurunkan biaya komplikasi sebesar $3.128 walaupun
terjadi peningkatan biaya pengobatan sebesar $6.550. Kombinasi metformin dan
sulfonilurea juga dapat menurunkan HbA1c daripada penggunaan metformin atau
sulfonilurea sebagai monoterapi (Anonim, 2007d).
Suatu
terapi pengobatan yang baik dan benar akan sangat menguntungkan bagi pasien,
baik dari segi kesehatan atau kesembuhan penyakit yang diderita, biaya yang
harus dikeluarkan, dan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat tersebut
terutama bagi pasien yang harus mengkonsumsi obat dalam waktu yang lama, bahkan
seumur hidupnya, seperti penyakit diabetes melitus. Oleh karena itu, perlu
dilakukan evaluasi pola antidiabetik kombinasi yang paling cost-effective.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
Uraian Diatas masalah yang akan diidentifikasi adalah bagaimana Terapi Pengobatan AntiDiabetik Kombinasi pada
pasien Diabetes Melitus tipe II non Insulin yang costeffective di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamer Kabupaten Garut.
Tujuan
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kombinasi antidiabetik yang
paling cost effective di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamer Kabupaten
Garut.
Tinjauan Pustaka
1. Diabetes mellitus
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang
dihubungkan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
(Triplitt etal., 2005).
a. Etiologi
Ada
bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes mellitus bermacam-macam.
Meskipun berbagai lesi dan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada
insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan
penting pada mayoritas penderita diabetes melitus. Manifestasi klinis dari
diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta rusak. Pada diabetes
melitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya,
sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan
dengan defisiensi insulin(Price and Wilson, 2005).
b. Klasifikasi
diabetes mellitus
Klasifikasi
diabetes melitus menurut ADA (2009) adalah sebagai berikut:
1. Diabates
tipe 1
Hasil dari destruksi sel b, biasanya
menjadi defisiensi insulin yang absolut. Kapasitas normal sel beta pankreas
untuk mengekskresikan insulin jauh dari pengeluaran normal yang diinginkan
untuk kontrol karbohidrat, lemak dan metabolisme protein (Koda-Kimble and Carlisle,
2001).
2. Diabetes
tipe 2
Hasil dari kerusakan sekresi insulin dengan
latar belakang resisten insulin. Pada awal resistensi insulin, penggunaan
glukosa oleh jaringan yang rusak, keluaran glukosa hepar atau produksi
ditingkatkan, dan kelebihan glukosa diakumulasi di sirkulasi sistemik. Diabetes
tipe 2 dihubungkan dengan penyakit yang bervariasi, meliputi obesitas,
atherosklerosis, hiperlipidemia dan hipertensi (Koda-Kimble and Carlisle,
2001).
3. Tipe
diabetes dengan spesifik lain
Penyakit Diabets ini karena kerusakan
genetik pada fungsi sel b, kerusakan genetik pada aksi insulin, penyakit
eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis) dan obat atau induksi kimia
(seperti pada pengobatan AIDS atau setelah transplantasi organ). Kebanyakan
bentuk ini dihubungkan dengan mutasi kromosom 12 pada factor transkripsi hati
yang menunjuk pada faktor nucleus hati (HNF)-1a. Bentuk kedua dihubungkan
dengan mutasi pada gen glukokinase pada kromosom 7p dan hasilnya molekul
glukokimase tidak sempurna (ADA, 2009).
4. Diabetes
melitus gestasional
Diabetes melitus gestasional merupakan
7% akibat dari kehamilan dan didefinisikan sebagai tidak toleransi karbohidrat
dengan onset atau pengenalan pertama selama kehamilan (Koda-Kimble and Carlisle,
2001)
c. Gejala
dan Diagnosis
Kriteria untuk diagnosis diabetes melitus antara
lain : gula darah puasa _ 7,0 mmol/L (_ 126 mg/dL), konsentrasi gula darah acak
_ 11,1 mmol/L (_ 200 mg/dL) dan gula darah 2 jam α 11,1
mmol/L (_ 200 mg/dL) dengan beban 75 gram tes toleransi gula secara oral.
Gejala diabetes melitus antara lain :
polidipsia, poliuria, polifagia,penurunan berat badan, dan koma diabetik
(Kasper et al., 2005).
d. Komplikasi
Menurut PERKENI (2006) dalam perjalanan
penyakit diabetes melitus dapat terjadi komplikasi akut dan menahun, yaitu
:
1. Komplikasi
akut diabetes mellitus
Komplikasi akut diabetes melitus
meliputi ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik dan hipoglikemi.
2. Komplikasi
menahun diabetes mellitus
Komplikasi menahun diabetes melitus dapat dibagi
menjadi tiga macam, yaitu komplikasi makroangiopati, mikroangiopati dan
neuropati. Contoh dari komplikasi makroangiopati adalah pembuluh darah jantung,
pembuluh darah tepid an pembuluh darah otak. Contoh dari komplikasi
mikroangiopati adalah retinopati diabetik dan nefropati diabetik.
3. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum
adalah meningkatnya kualitas hidup diabetisi (PERKENI, 2006). Pengobatan
diabetes mellitus secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Penatalaksanaan
non obat (non farmakologis)
Perubahan pola hidup menunjukkan
keefektifan dalam pencegahan atau penundaan onset dari diabetes melitus tipe 2,
diantaranya adalah meningkatkan aktivitas fisik, diet sehat,menurunkan berat
badan dan tidak merokok.
2. Penatalaksanaan
dengan obat (farmakologi)
Penatalaksanaan diabetes melitus dengan
obat (farmakologi) ada 2, yaitu menggunakan antidiabetik oral dan insulin.
a. Insulin
Insulin mempunyai peran yang sangat
penting dan luas dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh
sel beta pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta,
yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transport glukosa
dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak
dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya glukosa darah akan meningkat
dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak
dapat memproduksi energi (PERKENI, 2006).
Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi
menjadi empat jenis, yaitu insulin kerja cepat (rapid acting insulin),
insulin kerja pendek (short acting
insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin),
insulin kerja panjang (long acting insulin) (PERKENI, 2006).
1)
Antidiabetik oral
Obat-obat
hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes
melitus tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan
kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat. Pemilihan dan
penentuan regimen hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan pasien (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum
termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada (PERKENI, 2005).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat antidiabetik oral dapat dibagi menjadi 5
golongan, yaitu :
a)
Sulfonilurea
Dikenal
2 generasi sulfonilurea, generasi I terdiri dari tolbutamid, tolazamid,
asetoheksimid dan klorpropamid. Generasi II yang potensi hipoglikemik lebih
besar antara lain gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid dan glimepirid
(Anonim, 2007a).
Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang
(PERKENI, 2006).
b)
Meglitinid
Glinid
merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu: repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivate
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati (PERKENI, 2006).
c)
Biguanid
Metformin
adalah antihiperglikemia bukan hipoglikemia. Ini tidak menyebabkan pelepasan
insulin dari pankreas dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikamia. Metformin
tidak ada efek yang signifikan pada sekresi glukagon, kortisol, hormone
pertumbuhan atau somatostatin. Metformin menurunkan kadar glukosa dengan
menurunkan produksi glukosa di hepar dan menaikkan aksi insulin di otot dan
jaringan lemak. Pada kadar molekuler, aksi ini diperantarai sedikit bagian oleh
aktivasi sel kinase AMP yang diaktifkan oleh protein kinase (AMP kinase).
Mekanisme dimana metformin menurunkan produksi glukosa di hepar adalah
kontroversial, tapi banyak data yang menunjukkan efek menurunkan
glukoneogenesis. Metformin juga dapat menurunkan plasma glukosa dengan
menurunkan absorpsi glukosa dari usus besar, tapi aksi ini tidak menunjukkan
efek klinis (Davis, 2006).
d)
Tiazolidinedion
Tiazolidinedion
(rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-_), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Tiazolidinedion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidinedion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2006).
e.
Penghambat enzim α glukosidase
Obat
penghambat golongan enzim _-glukosidase ini dapat memperlambat absorpsi
polisakarida (starch), dekstrin dan disakarida di intestin. Dengan
menghambat kerja enzim glukosidase di brush border intestin, dapat
mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena
kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek
samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia
lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat tinggi. Di klinik sering
digunakan bersama antidiabetik oral lain dan atau insulin (Anonim, 2007a).
American
Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes
melitus.
Tabel
1. Target Penatalaksanaan Diabetes Melitus (ADA, 2007)
Parameter
|
Kadar ideal yang diharapkan
|
Kadar glukosa darah puasa
|
90-130 mg/dl
|
Kadar glukosa plasma puasa
|
<180 mg/dl
|
HbA1c
|
<7,0%
|
Tekanan darah
|
<130/80 mmHg
|
LDL-C
|
<100 mg/dl
|
Trigliserida
|
<150 mg/dl
|
HDL-C
|
Laki-laki >40
mg/dl
Wanita >50
mg/dl
|
2
Farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan
hasil yang diperoleh dihubungkan dengan
penggunaan obat dalam perawatan kesehatan. Analisis farmakoekonomi menggambarkan
dan menganalisa biaya obat untuk sistem perawatan kesehatan. Studi
farmakoekonomi dirancang untuk menjamin bahwa bahan-bahan perawatan kesehatan
digunakan paling efisien dan ekonomis (Orion, 1997).
Empat jenis evaluasi ekonomi yang telah dikenal
adalah Cost- Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis (CEA),
Cost- Benefit Analysis (CBA), dan Cost-Utility Analysis (CUA) (
Trisnantoro, 2005).
a. Cost-Minimization
Analysis (CMA)
Cost-Minimization
Analysis adalah tipe analisis yang menentukan biaya program
terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini
digunakan untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi yang
sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Suatu kekurangan yang nyata dari
analisis cost-minimization yang mendasari sebuah analisis adalah pada
asumsi pengobatan dengan hasil yang ekivalen. Jika asumsi tidak benar dapat
menjadi tidak akurat, pada akhirnya studi menjadi tidak bernilai. Pendapat
kritis analisis costminimization hanya digunakan untuk prosedur hasil
pengobatan yang sama (Orion, 1997).
Contoh
dari analisis cost-minimization adalah terapi dengan antibiotika generik
dengan paten, outcome klinik (efek samping dan efikasi sama), yang
berbeda adalah onset dan durasinya. Maka pemilihan obat difokuskan pada obat
yang biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).
b. Cost-Effectiveness
Analysis (CEA)
Analisis
Cost-Effectiveness adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu
intervensi dengan beberapa ukuran nonmoneter, dimana pengaruhnya
terhadap hasil perawatan kesehatan.
Analisis
Cost-Effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai
program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan
yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian pogram mana yang akan
dipilih adalah berdasarkan discounted unit cost dari masing-masing
alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendah
yang akan dipilih oleh para analisis untuk pengambilan keputusan
(Tjiptoherianto and Soesetyo,1994).
Dalam
menganalisis suatu penyakit, analisis cost-effectiveness berdasarkan
pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat
dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa
dicegah. Contoh sederhana, program A dengan biaya US $ 25.000 dapat
menyelamatkan 100 orang penderita. Sehingga unit costnya atau CE rationya
US $ 250/ life. Sedangkan dengan biaya yang sama, program B hanya dapat
menyelamatkan 15 orang penderita, berarti unit costnya atau CE rationya
mencapai $ 1,677/ life. Dalam hal ini jelaslah bahwa program A yang akan
dipilih karena lebih efektif daripada program B (Tjiptoherijanto and Soesetyo,
1994). Aplikasi dari CEA misalnya dua obat atau lebih digunakan untuk mengobati
suatu indikasi yang sama tapi cost dan efikasi berbeda. Analisis cost
effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke
dalam rasio pada obat yang dibandingkan.
Hasil
CEA dipresentasikan dalam bentuk rasio, yaitu bisa average cost
effectiveness ratio (ACER) atau dalam incremental cost effectiveness
ratio (ICER). ACER menggambarkan total biaya dari program atau intervensi
dibagi dengan luaran klinik, yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
(Dipiro et al., 2005)

ICER
digunakan untuk mendeterminasikan biaya tambahan dan pertambahan efektivitas
dari suatu terapi dibandingkan terapi yang paling baik, yang dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut (Dipiro et al., 2005).

c. Cost-Benefit
Analysis (CBA)
Analisis
Cost-Benefit adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu
intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil
perawatan kesehatan. Tipe analisis ini sangat cocok untuk alokasi bahan-bahan
jika keuntungan ditinjau dari perspektif masyarakat. Analisis ini sangat
bermanfaat pada kondisi antara manfaat dan biaya mudah dikonversi ke dalam
bentuk rupiah (Orion, 1997).
Merupakan
tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa
ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat
digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang
berbeda. Merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif dan sulit
dilakukan karena mengkonversi benefit kedalam nilai uang (Vogenberg,
2001).
Pertanyaan
yang harus dijawab dalam cost-benefit analysis adalah alternatif mana
yang harus dipilih diantara alternatif-alternatif yang dapat memberikan manfaat
atau benefit yang paling besar (Tjiptoherijanto and Soesetyo,
1994).
d. Cost-Utility
Analysis (CUA)
Analisis
Cost-Utility adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam utility-beban
lama hidup; menghitung biaya per utility; mengukur ratio untuk
membandingkan diantara beberapa program. Analisis costutility mengukur
nilai spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap individu atau masyarakat.
Seperti analisis cost-effectiveness, cost-utility analysis membandingkan
biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan
kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan (Orion, 1997).
Dalam
cost-utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk
penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs)
dan hasilnya ditunjukan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Keuntungan
dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup. Kekurangan
analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat
kesehatan pasien (Orion, 1997).
Metode Penelitian
Penelitian
ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan data retrospektif.
Penelitian dilakukan terhadap Pasien Diabetes Melitus Tipe II non Insulin di Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Slamer Kabupaten Garut.Sedangkan perspektif penelitian
yang digunakan adalah perspektif rumah sakit.
Data
yang dikumpulkan terdiri dari 2 jenis, yaitu; data klinik dan data biaya. Data
klinik antara lain berupa; diagnosa utama, penyakit penyerta, penggunaan
obat-obatan, lama perawatan dan penggunaan alat-alat kesehatan yang
menyertainya. Sedangan data biaya adalah biaya langsung dalam penangan
bronkopneumonia, meliputi; biaya kunjungan dokter, biaya obat, biaya alat
kesehatan, biaya rawat inap, biaya laboratorium dan biaya pemeriksaan
penunjang.
Sumber
data yang digunakan adalah catatan medis pasien bronkopneumonia satu tahun
terakhir, data penggunaan obat dari instalasi farmasi, daftar tarif rumah sakit
dan data keuangan (billing syatem). Data-data ini dikumpulkan pada suatu
lembaran pengumpul data, untuk selanjutnya dilakukan analisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar